Kamis, 03 November 2011

laporan pendahuluan pada pasien dengan cidera kepala

A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1.      Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001)



2.      Epidemiologi
Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).

3.       Etiologi
-         Kecelakaan lalu lintas
-         Perkelahian
-         Jatuh
-         Cedera olahraga
-         Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
-         Trauma benda tumpul
-         Kecelakaan kerja
-         Kecelakaan rumah tangga

4.      Patofisiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalulintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan,baik perdarahan intracranial maupun perdarahan ekstrakranial..Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan  yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping  itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin,prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.
1.      Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan morfologi cidera.
            Berdasarkan Mekanisme :           
a)      Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul)
b)      Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.

Berdasarkan Tingkat Keparahan :
      Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a)Reaksi membuka mata (Eye responses)
Score 4: Membuka mata dengan spontan
Score 3: Membuka mata bila dipanggil
Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
b)      Reaksi berbicara (verbal responses)
Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Score 4: Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang
Score3: Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk 
              kalimat
Score 2: Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
c)Reaksi Gerakan lengan / tungkai (motoric responses)
Score 6: Mengikuti perintah
Score 5:Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau  
              tempat
Score 4: Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Score 3: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Score 2: Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Score 1: Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi



Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan  menjadi :
a)Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
b)      Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
c)Cedera Kepala Berat (CKB)   :  bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)

Berdasarkan morfologi
a)      Fraktur tengkorak
- Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
- Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /
   tanpa kelumpuhan nervus VII
b)      Lesi intracranial
-   Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
-   Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

2.      Gejala Klinis
-         Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot.
-         Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
-         Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
-         Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
-         Muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
-         Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
-         Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
-         Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
-         Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
-         Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
-         Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
-         Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
-         Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
-         Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya,  diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.
-         Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
-         Trauma baru atau trauma karena kecelakaan.

3.      Pemeriksaan Fisik

-         Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,rhonkhi, takhipnea)

-         Sistem saraf : Saraf kranial adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot mata, vertigo.

-         Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

-         Tingkat kesadaran    : adanya perubahan mental seperti lebih sensitive, gelisah, stupor, koma

-         Rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.

-         Fraktur tengkorak : jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva, rihinorrea, otorhea, ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran.

-         Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh  peningkatan TIK dan disritmia jantung.

-         Kognitif : amnesia postrauma, disoroentasi, amnesia retrograt, gangguan bahasa dan kemampuan matematika.

-         Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi, gangguan pedengaran, gangguan sensasi raba.

-         Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

-         Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
-          Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
-          Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
-          Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
-          Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
-          Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
-          Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader : Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone : Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

-          

4.      Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
-         CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
-         MRI : sama dengan CT Scan
-         Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
-         EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
-         PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
-         Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
-         Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
-         Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.
-         AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid.
-         Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
-         Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

5.      Komplikasi
-         Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.
-         Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.
-         Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
-         Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal.
-         Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.

6.      Prognosis
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas. Selain itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di tengah perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema, kerusakan jaringan otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis pada cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap pada kondisi vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi berhubungan dengan sindrom nyeri kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya buruk.

7.      Therapy/tindakan penanganan
-         Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
-         Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
-         Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
-         Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
-         Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit

8.      Penatalaksanaan
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1.      Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2.      Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3.      Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.
4.      Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5.      Menilai tingkat keparahan
a.     Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
-       Skor skala koma Glasgow 15(sadar penuh, atensif, dan orientasi)
-       Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
-       Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
-       Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
-       Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
b.    Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
-       Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
-       Konkusi
-       Amnesia pasca trauma
-       Muntah
-       Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
-       Kejang
c.     Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
-       Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
-       Penurunan derajat kesadaran secara progresif
-       Tanda neurologis fokal
-       Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
            Pedoman penatalaksanaan
1.      Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2.      Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut :
-         Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
-         Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3.      Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
-         Hematoma epidural
-         Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel
-         Kontusio dan perdarahan jaringan otak
-         Edema serebri
-         Obliterasi sisterna perimesensefalik
-         Pergeseran garis tengah
-         Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
4.      Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :
-         Elevasi kepala 30o
-         Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (PCO2 < 25 mmHg) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
-         Berikan manitol 20% 1g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
-         Pasang kateter Foley
-         Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > diploe)
            Penatalaksanaan Khusus
1.      Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
-         Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
-         Foto servikal jelas normal
-         Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
-         Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
-         Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
-         Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
-         Intoksikasi obat atau alkohol
-         Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
-         Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2.      Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3.      Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.
-         Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-100 mmHg.
-         Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
-         Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan
-         Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
-         Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin. (biasanya hari ke-2 perawatan).
-         Temperatur badan : demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.
-         Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau secara ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
-          Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan  komplikasi lain. Untuk itu steroid hanya untuk dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6jam selama 48-72 jam).
-         Profilaksis trombosis vena dalam : sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intrakranial.
-         Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
-         Antibiotik : penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisislin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat  meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
-         CT Scan lanjutan : umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.

Daftar pustaka:
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3. Jakarta : EGC

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta : EGC

Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan, Jakarta : EGC.
Donna, D.Et Al.1991. Medical Surgical Nursing : A. Nursing Prosess Approch. St. Louis : The
C.V. Mosby Co.
NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007 – 2008, NANDA
International, Philadephia.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar